Kekurangan di Saat Kemarau, Kelebihan di Saat Hujan

Bulan Oktober selain waktunya burung-burung pemangsa dan burung pantai melakukan migrasi, juga merupakan bulan yang penuh dengan curahan air hujan, paling tidak itulah yang terjadi di kota Bogor.“Kekurangan di Saat Kemarau, Kelebihan di Saat Hujan”, ya, itulah isu yang disampaikan oleh Septiva Elin dari Indonesia Initiative for Social Ecology Studies (IISES) pada Obrolan Kamis Sore 15 Oktober lalu, yang menyinggung masalah air di Desa Cibanteng, Bogor.

IISES saat ini tengah memusatkan perhatiannya pada masalah air, karena air adalah salah satu hak manusia terkait dengan kebutuhan dasar manusia dan sebagai sumber kehidupan. Di sebagian daerah di Indonesia pun saat ini tengah mengalami kekeringan. Sebagai informasi, bahwa pada tahun 1995, Pulau Jawa mengalami defisit air sebesar 32,3 juta m3, pada 2000 sebanyak 52,8 juta m3, sedangkan pada 2005 sebanyak 34,1 juta m3. Hal ini disebabkan antara lain oleh menurunnya kualitas air, distribusi air yang tidak merata sepanjang tahun, distribusi air antar komunitas yang tidak merata dan akses masyarakat terhadap air tidak sama.

Desa Cibanteng diambil sebagai daerah contoh karena merupakan daerah sub-urban yang memiliki dua sisi kehidupan (kota/perdagangan dan tradisional/pertanian). Desa Cibanteng dilewati oleh Sungai Cinangneng dan memiliki Situ Cinangneng sebagai sumber airnya. Untuk keperluan rumah tangga, air didapat dari sumur-sumur maupun mata air, sedangkan untuk kegiatan pertanian dan perikanan air didapat dari sungai maupun situ yang dialirkan melalui susukan (selokan kecil). Di desa ini terdapat fenomena di mana pada bulan-bulan tertentu air mongering atau berlimpah.

IISES menganalisa, penyebab dari kekeringan dan kelimpahan air ini adalah adanya penurunan volume air di susukan karena volume air di situ yang berkurang, adanya kerusakan pada infrastruktur, distribusi air tidak adil (makin jauh orang tinggal dari situ, makin sedikit dia mendapat air), pengelolaan susukan yang tidak efektif, sampai ada perubahan pada tata guna lahan di desa tersebut, di mana banyak daerah resapan air berubah menjadi pemukiman atau usaha perindustrian.

Akibatnya adalah, “Pada saat musim kering, sumurnya kering, kalau hujan, airnya berlimpah, sampai harus mengangkat pompa air dari dalam sumur. Sedangkan saat kemarau datang, mereka harus menambah kedalaman sumur, bagi yang cukup mampu bisa membeli air dalam kemasan galon. Bagi yang tidak mampu, tetap harus ke sungai atau mata air untuk mencuci”, papar Elin. Artinya adalah terjadi peningkatan pengeluaran rumah tangga, beban kerja (bagi perempuan) bertambah, kesehatan dan sanitasi lingkungan menurun dan terjadi perubahan komoditas perikanan dan pertanian (jenis yang ditanam/disebar merupakan jenis yang dapat bertahan pada saat tersebut).

Kondisi kekeringan terparah di Cibanteng dimulai sejak tahun 2000. Tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan kota membawa dampak bagi penghidupan masyarakat Cibanteng, pemukiman (terutama untuk tempat kost) marak bermunculan dengan sendirinya ruang resapan air menyempit, yang artinya pasokan air untuk situ dan sungai semakin berkurang.

IISES sendiri yang peduli akan pelestarian sumber air melihat bahwa Situ Cinangneng tetap harus dijaga kelestariannya, tetapi kesejahteraan ekonomi masyarakat juga penting. Saat ini IISES berusaha bernegosiasi antara dua kepentingan di atas, dalam arti masyarakat tidak bisa serta merta dilarang untuk tidak mengubah fungsi lahan, tetapi jalan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya air bagi keberlanjutan hidup mereka perlu terus ditingkatkan. Karena dalam pikiran masyarakat, air Situ tidak akan mengering selama masih ada air yang mengalir di susukan.

IISES berupaya mengomunikasikan hal tersebut dengan pihak Desa, mulai dari tingkatan RT dan RW, kelompok-kelompok pengajian. Selain itu pula IISES melakukan dokumentasi (pembuatan film) tentang kehidupan warga Desa Cibanteng sehari-harinya dengan penekanan pada penggunaan dan kondisi sumber daya air yang dimilikinya, termasuk segala persoalan yang muncul dari padanya. Film tersebut kemudian diputar kembali pada berbagai pertemuan kelompok masyarakat. Masyarakat cukup terperangah dengan film tersebut, karena hal-hal yang mereka temukan sehari-hari, tampak sangat berbeda dalam film, bagaimana mereka melihat sampah maupun kerusakan infrastruktur perairan di desa mereka. Mungkin diperlukan pula gambaran berapa nilai Situ Cinangneng beserta fungsi ekologis dan sosialnya bila dirupiahkan, agar masyarakat menyadari arti penting Situ tersebut.

Saat ini beberapa mata air di Situ Cinangneng yang tersisa hanya berada pada area di sekitar sungai, telah mongering lebih dari 50%, sejak tahun 1990-an. Harapan IISES adalah, pada saat meninggalkan Desa Cibanteng telah ada program dan tersedia air bersih yang mandiri.

“Persoalan kelangkaan air, antara alin adalah semakin meningkatnya konsumen air. Indonesia sedang mengalami krisis energi, pangan dan air,” demikian Elin menutup tanya jawab di Obrolan Kamis Sore.
[Irma dana & Jeni Shannaz]